Senin, 01 Oktober 2007

Sejumput Harapan Demi Pencerahan

Riri Puspita Sari/13007107

Berbagai persiapan terus dilakukan menyambut datangnya para wakil negara dari seluruh penjuru dunia pada Conference of Parties Ke-13 United Nations Frameworks Convention on Climate Change, 3-14 Desember 2007 di Denpasar, Bali. Perhelatan akbar yang tentunya akan menjadi sorotan dunia ini,membuat Indonesia terus berdandan cantik dan menjaga imagenya demi gengsi yang akan diraupnya. Di satu sisi, kampanye tentang hutan semakin marak bermunculan. Kerusakan hutan telah divonis sebagai terdakwa dari kasus naiknya permukaan air laut akibat peningkatan suhu bumi, yang lebih dikenal dengan nama pemanasan global.

Adalah sebuah dilemma karena negara maju terus menyalahkan negara berkembang, khususnya Indonesia, yang dianggap lalai dalam menjaga kelestarian hutannya sehingga memecahkan rekor dunia untuk laju deforestasi. Fakta menunjukkan, negara maju adalah penyumbang emisi karbon terbesar yang selanjutnya diserap oleh hutan-hutan ini. Tercatat Amerika Serikat telah menyumbang 24% emisi global, diikuti China 14%, Rusia 6%, dan macan Asia Jepang serta India menyumbang 5%. Lantas, siapa yang patut disalahkan? Pertanyaan ini sesungguhnya telah dijawab di dalam Protokol Kyoto yang dilahirkan tahun 1997 yang telah diratifikasi Indonesia. Negara ekonomi maju yang masuk dalam daftar sebagai penyumbang emisi karbon terbesar berkewajiban megurangi emisi global dan memberikan kompensasi atas upaya penyelamatan hutan di negara kehutanan dengan mekanisme pola clean development mechanism (CMD). Indonesia sendiri telah memenuhi syarat dan konon berkompetensi menyerap dana sebesar 500 juta dollar AS dari proyek ini. Sayangnya, sampai sekarang sang ‘terdakwa’ Amerika Serikat dan beberapa negara industri besar belum mau menjalani ‘hukumannya’.

Hal inilah yang patut menjadi fokus perhatian dalam konferensi Bali yang akan dihadiri oleh 189 negara pada penghujung tahun ini. Dunia hendaknya memberi ‘tembakan peringatan’ pada ‘anak-anak nakal’ tersebut agar segera ‘menyerah dan bertobat’ demi kebaikan bersama. Selain itu, kesadaran dunia untuk berkolaborasi menghadapi peningkatan emisi karbon perlu ditingkatkan dengan mencari solusi-solusi kreatif sekaligus langkah konkrit dalam mewujudkannya. Bukan saatnya lagi tuduh menuduh atau suruh menyuruh, karena masa depan hanya butuh komitmen penuh.